Antibiotika: Obat atau Racun?
Pradita Fiqlyanur Isna Primadana|Farmasi 2018|Uin Maulana Malik Ibrahim Malang
Permasalahan yang ada di Indonesia bukan suatu hal yang bisa dianggap remeh, tetapi harus ada penyelesaian sesegera mungkin, agar permasalahan di Indonesia tidak menumpuk dan hanya menjadi bahan perdebatan tanpa sebuah solusi didalamnya. Permasalahan di Indonesia bukan hanya dari satu sisi saja. Apabila diibaratkan seorang pasien, Indonesia telah mengalami komplikasi yang mana segala penyakit menyerang di segala jaringan yang ada pada tubuh manusia, salah satu permasalahan tersebut adalah di bidang kesehatan. Dalam bidang kesehatan terdapat satu hal yang telah viral di kalangan tenaga kesehatan dan masyarakat awam yaitu tentang “Antibiotik”.
Antibiotik merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, yang dapat menghambat atau membasmi bakteri jenis lain (dr.Amir Syarif, 2007). Jika kita membaca dari definisi antibiotik, yang kita pikirkan pertama kali adalah suatu obat untuk membasmi bakteri yang merugikan bagi tubuh manusia. Akan tetapi, saat ini antibiotik bukan hanya sekedar obat yang identik dengan kata menyembuhkan tetapi saat ini antibiotik dapat dikatakan racun bagi penggunanya. Mengapa ini bisa terjadi pada belakangan ini? Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan khusus terkait penggunaan antibiotik sehingga para masyarakat awam menggunakan antibiotik menurut pemahaman mereka sendiri, padahal tata cara penggunaan obat antibotik perlu pengawasan khusus dan harus lebih terjamin. Kesalahan penggunaan pada antibiotik dapat menyebabkan resistensi atau kekebalan terhadap bakteri, yang menyebabkan antibiotik tersebut tidak mampan untuk menghambat atau membasmi bakteri yang merugikan bagi tubuh manusia.
Problematika dari antibiotika harus segera diselesaikan dengan solusi yang pasti dan bukan hanya menjadi bahan berdebatan yang isinya hanya mengadu kepintaran tanpa menetapkan solusi yang tepat untuk permasalahan antibiotik ini, solusi untuk permasalahan antibiotik perlu adaya tindakan langsung dari sang ahli ,apoteker, yang mana apotekerlah yang paham terkait bagaimana cara kerja obat dan bagaimana cara menyampaikan dengan baik kepada pasien dalam menggunakan antibiotik, sesuai dengan Peraturan pemerintah no.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Jadi, seorang apoteker memberikan informasi dan edukasi dengan tepat dan bisa dimengerti oleh pasien sehingga terjadinya resistensi akan tidak terjadi.
Selain itu, dilaksanakan juga suatu kegiatan kemasyarakatan seperti sosialisasi yang mana berisi tentang penggunaan obat antibiotik yang baik dan benar, bukan hanya seorang apoteker yang harus bekerja dalam penyelesaian antibiotik ini tetapi harus ada dukungan dari masyarakat umum untuk berpartisipasi dalam program-program yang telah dirancang oleh pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), seperti program Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO), yang mana dalam program ini menjelaskan bagaimana penggunaan obat yang benar, yang dimulai dari Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang yang kemudian dikenal dengan sebutan DAGUSIBU.
Kesadaran dari masyarakat merupakan masalah yang sangat sulit untuk dipecahkan, karena sebagian dari masyarakat banyak yang bersifat tradisionalis yang mana lebih percaya pada orang yang lebih tua darinya, sedangkan orang yang dipercayainya belum tentu paham terkait penggunaan obat yang benar. Harus ada kebijakan khusus dari apotek untuk tidak menjual antibiotik dengan bebas, saat ini peraturan tentang pembelian antibiotik dengan menggunakan resep dokter memang sudah ada, akan tetapi pelaksanaan dari setiap apotek masih terbilang tidak berjalan dengan baik, karena ada sebagian apotek yang mengutamakan komersial bukan pelayanan yang baik atau pelayanan prima.
Sumber informasi yang didapat oleh konsumen terkait penggunaan antibiotik adalah kebanyakan dari dokter yaitu 43,90% dan dari apoteker hanya 12,54%(sunandar ihsan, 2016), yang artinya apoteker kurang menggunakan perannya dalam memberikan informasi kepada pasien. Adanya peraturan tentang masuknya obat antibiotika ke golongan obat wajib apotek harusnya dicabut agar pasien tidak mudah mendapatkannya karena harus menggunakan resep dokter. Meskipun dalam Obat wajib apotek ada pengawasan khusus dari apoteker tidak menutup kemungkinan adanya penyalahgunaan dari antibiotik yang dilakukan oleh pasien atau pelaku penyalahgunaan.
Kasus antibiotik ini memang harus segera diselesaikan, solusi yang dapat membantu permasalahan ini adalah peran apoteker sebagai ahli farmasi harus lebih ditingkatkan kembali, agar supaya tidak ada kesalahan informasi terkait penggunaan antibiotik yang benar. Selain itu, peran dari pemerintah dalam hal ini adalah BPOM dan Dinas kesehatan harus lebih ditingkatkan dalam pengawasan pengedaran antibiotik, sehingga tidak ada penyalahgunaan antibiotik dan hal yang dikhawatirkan yaitu resistensi bakteri tidak terjadi di Indonesia. Masyarakat harus lebih percaya pada tenaga kesehatan dalam hal ini tenaga kefarmasian dalam cara penggunaan antibiotik yang benar dan bukan bersumber dari kerabatnya yang kompetensinya bukan tenaga kesehatan. Ikatan Apoteker Indonesia telah menggalakkan slogan DAGUSIBU yaitu Dapatkan ,Gunakan, Simpan dan Buang, hal ini yang menjadi pedoman konsumen dalam penggunaan antibiotik. Dengan solusi-solusi ini bisa menjadikan permasalahan terkait resistensi antibiotik dapat mengalami penurunan dan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan baik oleh pasien. Mari ciptakan Indonesia sehat dengan sadar obat. Salam farmasi Indonesia.
Daftar Pustaka:
dr.Amir Syarif, D. E. (2007). Farmakologi dan terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
sunandar ihsan, k. n. (2016). studi penggunaan antibiotik non resep di apotek komunitas kota kendari. media farmasi volume 13 No.2 , 272-284.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.(2009).Peraturan Pemerintah Nomor.51 Tahun
2009Tentang pekerjaan kefarmasian.Jakarta:Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Komentar
Posting Komentar