KOMET 2025: Dari Gizi ke Toksikologi – Risiko Kontaminasi Makanan MBG dan Peran Farmasi dalam Penanganan Keracunan
Malang, 12 Oktober 2025 – Dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat, pemerintah meluncurkan program Makanan Bergizi (MBG) sebagai langkah strategis dalam memperbaiki status gizi nasional. Namun, di balik niat baik tersebut, pelaksanaan program MBG menghadapi tantangan besar, terutama dalam aspek keamanan pangan dan potensi kontaminasi (Riyanto & Sinaga, 2025). Isu ini menjadi fokus utama dalam kegiatan KOMET (Kastrad on Meet and Greet) 2025, yang diselenggarakan oleh Divisi Kastrad HMPSF Habbatussauda’ UIN Malang bekerja sama dengan Kastrad HIMFA PARACELSUS UMM. Kegiatan ini menjadi wadah diskusi kritis dan reflektif bagi mahasiswa farmasi untuk menelaah hubungan antara gizi, toksikologi, serta peran tenaga kefarmasian dalam menghadapi risiko keracunan akibat kontaminasi pangan.
Diskusi dalam forum ini mengangkat berbagai
permasalahan yang muncul pada implementasi program MBG. Dari sisi regulasi,
ditemukan adanya tumpang tindih peran antara ahli gizi dan tenaga kefarmasian.
Sementara secara operasional, keterbatasan tenaga ahli dan infrastruktur dapur
yang tidak memenuhi standar higienitas memperbesar peluang terjadinya
kontaminasi makanan. Faktor lingkungan seperti air bersih, peralatan masak,
serta bahan baku yang tidak terjamin kualitasnya juga menjadi pemicu utama.
Selain itu, kondisi individu penerima makanan—misalnya adanya alergi
tertentu—menambah kompleksitas risiko yang harus diantisipasi. Permasalahan ini
menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program agar
tujuan gizi masyarakat tidak justru berbalik menjadi ancaman kesehatan (Maulia dkk, 2025).
Dalam konteks kefarmasian, tenaga farmasi memiliki
peran vital meskipun belum sepenuhnya dioptimalkan. Farmasis dapat
berkontribusi dalam analisis kandungan gizi, penanganan kasus keracunan melalui
pemberian obat yang tepat, serta edukasi kepada masyarakat tentang bahaya bahan
toksik dalam makanan. Lebih jauh, kolaborasi interprofesional antara farmasis,
ahli gizi, dan tenaga medis lainnya menjadi kunci utama dalam memastikan
keamanan pangan dan pencegahan efek toksik. Melalui pendekatan toksikologi pangan,
farmasis diharapkan tidak hanya berperan reaktif dalam menangani kasus
keracunan, tetapi juga proaktif dalam sistem pengawasan kualitas dan distribusi
pangan (BPOM, 2017).
Berbagai solusi juga muncul dalam forum diskusi
ini. Pemerintah diharapkan dapat memperketat pengawasan kualitas dapur produksi
dan memastikan seluruh proses memenuhi standar higienitas yang berlaku. Selain
itu, efektivitas anggaran perlu ditinjau kembali agar penyaluran bantuan lebih
tepat guna tanpa menimbulkan peluang penyalahgunaan dana. Dari sisi akademik,
mahasiswa diharapkan dapat berperan aktif dalam mengadvokasi perbaikan
kebijakan MBG, berkolaborasi dengan organisasi kesehatan, dan mengedukasi masyarakat
mengenai pentingnya keamanan pangan. Upaya ini sekaligus menegaskan peran
mahasiswa sebagai agen perubahan yang kritis terhadap isu-isu kesehatan publik.
KOMET 2025 ditutup dengan semangat kolaboratif dan
kesadaran baru akan pentingnya integrasi antara ilmu gizi dan toksikologi dalam
menjaga kesehatan masyarakat. Melalui kegiatan ini, para peserta tidak hanya
memperoleh pemahaman tentang risiko kontaminasi pangan, tetapi juga memperkuat
komitmen untuk mengedepankan keselamatan konsumsi masyarakat melalui kontribusi
farmasi yang lebih strategis dan humanis. Diharapkan hasil kajian ini dapat
menjadi pijakan dalam upaya memperkuat keamanan pangan nasional dan memperjelas
posisi farmasis sebagai garda terdepan dalam perlindungan kesehatan masyarakat.
SUMBER REFRENSI
Maulia, S. P., Sahra, L. P., Fitriani, A., & Kurnia, R. (2025). Dampak kasus keracunan dalam program makan bergizi gratis terhadap kesehatan dan kualitas pembelajaran siswa. Jurnal Basicedu, 9(6), 1850–1855.
Riyanto, O. S., & Sinaga, M. R. E. (2025). Penegakan hak anak atas makanan aman dan sehat: Studi kasus keracunan dalam program makan bergizi gratis ditinjau dari tanggung jawab negara. Juris Humanity: Jurnal Riset dan Kajian Hukum HAM, 4(1), 1–10.
Dokumentasi:

Komentar
Posting Komentar