Mahasantri & Mahasiswa: Sinergi atau Beban Ganda?

Mahasiswa dikenal sebagai agen perubahan yang kritis terhadap kebijakan dan perkembangan sosial (Dahrendorf, 1959). Mereka menjadi ujung tombak dalam melahirkan gagasan progresif di berbagai bidang (Prakoso, 2016). Namun, di lingkungan kampus berbasis keagamaan, muncul satu identitas baru yang menarik: mahasantri. Istilah ini merepresentasikan mahasiswa yang tidak hanya menempuh pendidikan akademik, tetapi juga menjalani kehidupan keagamaan di ma’had. Perpaduan dua peran ini menimbulkan pertanyaan: apakah menjadi mahasantri adalah bentuk sinergi yang memperkaya, atau justru beban ganda yang membebani?.

Konsep mahasantri pada dasarnya bertujuan untuk mencetak generasi cendekia yang berilmu sekaligus berakhlak. Kegiatan di ma’had seperti pengajian, kajian tafsir, dan pembinaan karakter dirancang untuk memperkuat sisi spiritual mahasiswa. Mahasantri juga memiliki keunggulan dalam hal kedisiplinan, manajemen waktu, serta pembentukan karakter yang religius dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini tentu menjadi bekal berharga dalam kehidupan akademik maupun sosial (Khatimah dkk, 2023).

Namun, di balik manfaat tersebut, tantangan besar juga hadir. Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan membagi waktu antara kuliah, organisasi, dan kewajiban ma’had. Aktivitas yang padat kerap membuat mereka kewalahan, terutama di jurusan dengan beban studi berat seperti Farmasi. Perkuliahan yang menuntut fokus tinggi, ditambah jadwal kegiatan ma’had yang ketat, membuat sebagian mahasiswa cepat merasa lelah dan tertekan. Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan ma’had mulia, implementasinya bisa menjadi beban jika tidak diimbangi dengan sistem yang fleksibel.

Bagi sebagian mahasiswa, sistem ma’had juga membawa dampak positif yang signifikan. Mereka merasa karakter dan kedisiplinan diri semakin terbentuk, suasana belajar menjadi lebih religius, dan rasa kebersamaan antar-mahasiswa meningkat. Kehidupan ma’had menumbuhkan kebiasaan positif seperti bangun pagi, menghargai waktu, dan menjaga nilai-nilai moral dalam keseharian. Selain itu, melalui peran seperti musrif atau pengurus kegiatan, mahasiswa dapat mengembangkan soft skill kepemimpinan, tanggung jawab, dan komunikasi yang kelak bermanfaat di dunia kerja.

Dengan demikian, status mahasantri sesungguhnya memiliki dua sisi yang berjalan berdampingan. Di satu sisi, ia memberikan ruang bagi pembentukan karakter dan spiritualitas yang kuat. Di sisi lain, jika pengelolaan waktu dan sistemnya tidak seimbang, ia bisa menjadi beban tambahan yang menguras energi dan fokus mahasiswa.

Pada akhirnya, menjadi mahasantri bukanlah tentang memilih antara menjadi santri atau mahasiswa, melainkan tentang menemukan titik keseimbangan di antara keduanya. Ketika intelektual dan spiritual dapat bersinergi dengan baik, maka lahirlah sosok mahasiswa yang tidak hanya cerdas dan berprestasi, tetapi juga berakhlak, berkarakter, dan siap menjadi agen perubahan sejati di tengah masyarakat.

SUMBER REFERENSI

Abdi, Y. H., Rizkiana, A., & Panuju, P. (2021). Pengalaman spiritual mahasantri pondok pesantren mahasiswa Ponorogo. TARBAWI: Journal on Islamic Education, 5(1), 33–51. https://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/1499

Dahrendorf, R. (1959). Class and class conflict in industrial society. Stanford University Press.

Khatimah, H., & Nuradi, N. (2023). Mata kuliah kewirausahaan Islam dan lingkungan: Pengaruhnya terhadap pembentukan karakter mahasantri preneur di perguruan tinggi berbasis pesantren. Khatimah: Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JJ/article/view/45961
(Catatan: Volume dan nomor tidak dicantumkan pada sumber awal. Jika ada datanya, saya bisa lengkapi.)

Prakoso, A. W. (2016). Peran mahasiswa dalam fungsi agent of change, social control, dan iron stock. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 13(1), 45–54.

Syakur, M. (2024). Konstruksi karakter Salaf mahasantri: Peran Bu Nyai pesantren dalam pendampingan pembelajaran mahasantri di Kota Semarang. KACA: Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, 14(1), 90–106. https://doi.org/10.36781/kaca.v14i1.579

Dokumentasi :





Komentar

What's Popular?